Rendahnya Harga Diri dan Seks Bebas
Oleh : Zahriani Ahmad Amin
Mengapa
sebagian pemuda sekarang begitu mudah melakukan seks bebas? Pertanyaan ini
muncul mengkritisi fenomena yang terjadi saat ini pada pemuda. Begitu mudahnya
mereka melakukan seks bebas bahkan merekam dan meng “upload” nya ke media
sosial seperti sudah kehilangan rasa malu. Seolah-olah peradaban telah
kehilangan panggung dalam dunia pemuda. Peradaban telah dikubur dalam-dalam
sehingga mereka berperilaku seenaknya tanpa batasan.
Banyak
pendapat yang mengatakan bahwa hal ini terjadi akibat dari hilangnya benteng
pertahanan dalam diri mereka. Kurangnya pendidikan tentang bahaya seks bebas,
pacaran terlalu dini dan lain-lainnya pendapat ini benar adanya. Namun jika
dikatakan mereka kurang pengetahuannya tentang seks, rasanya tidak mungkin setelah
dilihat para pelakunya adalah dari kalangan pemuda yang sedang menjalani
pendidikan. Sejak kelas tiga SMP mereka telah belajar tentang sistem reproduksi
dengan materi yang lumayan tinggi. Biologi SMP telah mengajarkan materi tentang
ejakulasi, fertilisasi, proses kehamilan serta perkembangannya dan lainnya.
Maaf, yang tidak diajarkan pada mereka dipelajaran ini mungkin hanya tentang
bagaimana cara melakukan jima’, yang lainnya saya rasa cukup jelas. Bahkan saya
salah tingkah saat menjelaskan materi ini pada anak-anak saya ketika mereka belajar
di rumah.
Setelah
dipikir lagi, sepertinya para pemuda melakukan hal-hal seperti ini karena
mereka tidak dapat mencintai dan menghargai diri mereka sendiri. Mengapa mereka
sampai bisa kehilangan rasa harga diri dan mencintai diri sendiri? Ada dua
alasan yang dapat kita kemukakan, pertama “secara verbal” orang tua/lingkungan tidak
pernah menguatkan diri mereka bahwa mereka adalah sesuatu yang sangat berharga
dan dicintai. Kedua “sikap lingkungan” yang mengisyaratkan mereka tidak
berharga dan dicintai keberadaannya. Efeknya para pemuda ini akan mencari orang
yang dapat mencintai dan menghargai mereka. Pengabaian yang mereka dapatkan
mengakibatkan tidak dewasanya mereka dalam berpikir, sehingga mereka salah cara
dalam memahami dicintai dan dihargai. Sedikit saja perhatian yang mereka
dapatkan dari orang yang tidak bertanggung jawab, membuat mereka takut
kehilangan rasa nyaman yang mereka peroleh. Akibatnya mereka akan melakukan dan
memberikan apa saja untuk mempertahankan perhatian dan sedikit penghargaan yang
salah ini. Apalagi jika berjumpa dua orang yang merasa diabaikan bisa
dibayangkan apa yang akan mereka lakukan.
Tumbuhkan
rasa percaya diri dan penghargaan diri pada pemuda
Masalah
ini tidak akan selesai hanya dengan menyalahkan dan menghukum mereka yang
melakukan tindakan asusila. Sebagai orang tua pun sepatutnya bagi kita
melakukan intropeksi diri. Mengevaluasi mengapa pendidikan moral atau karakter
yang kita berikan, tidak mampu mengarahkan pemuda kita untuk dapat berperilaku
positif. Tentu ada yang salah baik pada diri mereka atau pada kita orang tua
yang diembankan amanah untuk mendidik mereka. Semestinya kita bertanya pada
diri kita mengapa kerusakan moral dapat terjadi pada pemuda kita, di
tengah-tengah keberadaan kita.
Bila
kita sadari penyebab menyimpangnya perilaku pemuda karena hilangnya rasa
percaya diri dan penghargaan terhadap diri sendiri yang rendah, maka hal yang
harus kita lakukan adalah menumbuhkan rasa tersebut pada diri mereka. Hal ini
harus kita lakukan sejak dini, sejak mereka masih kanak-kanak. Anak-anak sangat
peka terhadap verbal dan sikap di sekelilingnya, maka kita perlu berhati-hati
dalam berucap dan bersikap terhadap mereka. Anak-anak sangat membutuhkan
penguatan dari kita, bahwa keberadaan mereka sangat berharga bagi kita maka
sering-seringlah mengucapkannya. Namun pengucapan saja tanpa diiringi sikap kita
yang menunjukkan memang mereka adalah berharga bagi kita, rasanya seperti sifat penjumlahan matematika 1+
(̵ 1) = 0. Bagi mereka hal seperti ini bisa diterjemahkan sebagai sikap
kemunafikan kita sebagai orang tua.
Yang
lebih menyakitkan lagi ada sebagaian anak-anak tumbuh dari lingkungan dan orang
tua yang berperilaku negatif, baik dari segi ucapan atau sikap yang ditunjukan
pada mereka. Bisa kita bayangkan bagaimana terlukanya perasaan mereka, setiap
hari yang mereka peroleh hanya perkataan dan sikap yang menafikan mereka.
Jangankan menghargai keunggulan anak-anak, keberadaan mereka saja dicemooh dan
disikapi dengan negatif. Lalu bagaimana rasa percaya diri dan penghargaan
terhadap diri mereka dapat tumbuh tinggi?. Maka tidak heran banyak pemuda yang
menjadi korban atau pelaku seks bebas, berasal dari lingkungan keluarga yang
minus penghargaan. Perilaku ini tidak memandang kekayaan seseorang, baik dari
golongan kaya ataupun miskin harta efeknya akan sama.
Pendidikan
agama solusinya?
Agama
adalah ajaran yang berisi norma-norma, salah satunya adalah norma kehidupan.
Apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan telah dijelaskan secara gamblang dalam
agama islam. Mengenai pergaulan bebas dalil mengenai bagaimana seharusnya
akhlak kita dalam bergaul dengan lawan jenis dapat dilihat pada surat Al Isra
ayat : 32 jangankan untuk melakukan seks bebas mendekatinya saja sudah
diharamkan. Saya kira agama lain pun memiliki sikap yang sama terhadap seks
bebas ini. Sehingga tidak mengherankan jika orang tua dan para pelaku
pendidikan memberikan porsi khusus untuk pendidikan agama anaknya, dengan
harapan pengetahuan ini dapat menjadi benteng bagi anak-anaknya dari pergaulan
negatif. Hal ini tentunya adalah sebuah kebijakan yang benar. Namun tidak dapat
dipungkiri, agama sebagai pengetahuan saja tidaklah mencukupi sebagai
pertahanan dari gempuran pergaulan bebas.
Dalam
sebuah seminar parenting yang saya ikuti, pemateri yang seorang psikolog
sekaligus konsultan pendidikan dari beberapa sekolah dan pesantren menceritakan
bahwa pornografi itu dikalangan santri bukanlah hal yang baru dan aneh! Saya
tidak membantahnya, dua orang anak saya bersekolah di pesantren dari mereka
saya dapatkan info bagaimana para santri muda ini mulai terpapar pornografi.
Sakit dan miris mendengarnya ada rasa tidak percaya awalnya. Namun setelah
mendengar seminar tersebut membuka mata saya bahwa pengetahuan agama bukanlah
jawaban dari benteng bagi pemuda. Bahkan di tempat yang sejatinya sudah steril
dari ikhtilat (bercampur) lelaki dengan perempuan dengan pengetahuan agamanya
mumpuni, bisa terpapar virus pornografi.
Pornografi adalah salah satu pintu masuknya seks bebas bagi pemuda.
Apakah
agama tidak dapat membentengi manusia dari maksiat? Tentu saja agama adalah
solusi dari permasalahan ini. Namun jika Pendidikan agama diberikan secara
normatif saja tanpa mempertimbangkan
aspek psikologis keagamaan, hal ini hanya meningkatkan kecerdasan kognitif
mereka dibidang agama saja. Padahal agama itu sendiri ada untuk membentuk
peradaban manusia yang lebih baik dari hewan. Pengetahuan agama yang kita
berikan tanpa diiringi rasa kasih dan sayang dari orang tua dan lingkungan
sekitarnya tidak akan memberikan efek yang kuat bagi anak dan pemuda.
Pengetahuan seperti ini hanya akan menjadi tulisan yang panjang di atas kertas
sebagai jawaban dari ujian pelajaran agama. Sementara akhlak peradaban akan
sulit tersentuh, karena hati dan diri mereka tidak pernah dihargai.
Sebagian
orang tua dan para ustadz/ustadzah masih sibuk memperbincangkan tentang
kemampuan kognitif anak dalam pelajaran agama, angka-angka masih menjadi
patokan. Value dari agama itu sendiri sering diabaikan dalam pembelajaran yang
dijalankan. Agama yang merupakan muatan spiritual seharusnya menjadi jembatan
antara pengetahuan dan peradaban manusia. Namun karena pengabaian dari
menghormati anak sebagai manusia yang berharga menjadikan hati mereka kosong
dari nilai-nilai Ilahiyah. Hati mereka tidak meyakini keberadaan Tuhan sebagai
pengawas yang mencintai mereka. Fitrah keimanan mereka tidak tumbuh sebagaimana
mestinya. Sehingga ketika mereka dilepaskan ke lingkungan, pertahanan dari
dalam diri pemuda untuk tidak melakukan maksiat tidak ada sama sekali.
Seperti
kata Pak Komaruddin Hidayat dalam buku psikologi agama, bahwa iman walaupun
sifatnya abstrak senantiasa melahirkan dorongan dan pengaruh kuat untuk
mengarahkan pikiran, perasaan dan perilaku seseorang untuk berbuat kebaikan. Hal
ini dapat menjadi acuan bagi kita orang tua dalam mempersiapkan pemuda untuk
menghadapai lingkungannya. Rasa percaya diri akan tumbuh kuat pada pemuda bersama
dengan iman yang kuat. Ajarkan mereka untuk menghargai diri mereka sendiri
dengan menanamkan iman yang kuat sejak dini mungkin. Sehingga mereka dapat kita
lepaskan ke lingkungannya dengan rasa aman, segala bentuk perilaku negatif akan
mampu difilter sendiri oleh mereka. Orang tua akan merasa nyaman dengan hanya
menjadi pengawas bagi mereka. Sikap seperti ini akan mendewasakan cara berpikir
mereka.
Email:
nanizahriani@gmail.com, penulis
adalah ibu rumah tangga.
Komentar
Posting Komentar