Bangkit dari Keterpurukan

Zahriani Ahmad Amin
Selama ini kita sering merasa bingung terhadap persoalan keterpurukan,  apakah karena malas kita menjadi terpuruk atau sebaliknya karena terpuruk yang membuat kita merasa malas? Keterpurukan adalah kondisi jiwa manusia yang sangat labil dan merasa keberadaannya tidak bermakna. Lalu tenggelam dalam ruang yang membuat ia menderita. Padahal di dunia ini tidak seorang manusiapun yang ingin hidupnya berada dalam keterpurukan, baik secara ekonomi maupun kejiwaan. Namun untuk bangkit dari keterpurukan itu kebanyakan manusia menjadikannya sebagai suatu perkara sangat sulit. Bahkan sebagian orang menjadi larut, seolah dunia ini telah kiamat dan berlaku sangat kejam terhadap dirinya. Mereka enggan bangkit karena menganggap itu adalah takdir. Bahkan ada yang bunuh diri atau gila.

               Keyakinan seperti ini membuat manusia menjadi  malas dan pesimis terhadap kehidupannya. Jika “penyakit” malas  sudah merasuki manusia dampak negatif pun  akan bermunculan. Karena kemalasan akan menyebabkan manusia memilih budaya hidup santai, tidak mau bekerja keras dan nihilnya visi kehidupan.  Kondisi seperti ini akan berimbas pada rendahnya kualitas hidup dan cuek pada keadaan sekitar. Padahal Allah telah berfirman dalam Al-qur’an surah Ar-Ra’du ayat  11, “Sesungguhnya Allah tidak akan merubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan mereka sendiri.” Bangkit dari rasa malas adalah suatu keharusan. Rasulullah  saw dalam risalah doanya mengajarkan kita memohon perlindungan dari rasa malas. Malas adalah awal kehancuran dan kematian manusia. Mati dari kreativitas, mati dari rasa, dan kematian hal-hal positif yang lebih luas dari jiwa. Islam mengajarkan kita untuk hidup optimis. 
Pacsa terjadi tsunami tiga belas tahun lalu, seandainya masyarakat Aceh memiliki sikap malas yang tinggi tentunya semua bantuan yang diperoleh saat itu tidak akan ada gunanya. Karena rasa malas akan menghadirkan semangat hidup yang rendah dan memiliki motivasi yang rendah untuk bangkit kembali,  rasa malas akan membuat kita terpuruk dan larut dalam kesedihan. Bila hal ini terjadi, akan melahirkan masyarakat yang apatis. Masyarakat yang acuh tak acuh terhadap lingkungannya, yang akhirnya tidak dapat diajak bekerja sama dan akan menghambat pembangunan di segala bidang. Manusia yang menjadikan malas sebagai watak dirinya, akan menggantungkan hidupnya dari bantuan orang lain. Ketika uluran bantuan pihak lain mulai terhenti, mereka akan menjadi bingung dan menjerumuskan hidup mereka dalam keterpurukan. Bila hal ini terjadi sangat dikhawatirkan akan menjadi pemicu dari segala perbuatan asusila dalam masyarakat. Biasanya sikap negatif akan muncul ketika  terbiasa hidup surplus tanpa lelah bekerja dan tiba-tiba bantuan itu menghilang. Hilangnya tempat bergantung ini mengakibatkan rasa berkekurangan dalam ekonomi dan akhirnya jalan pintaspun menjadi pilihan seperti mencuri dan mengemis.
Budaya hidup santai menjadikan manusia miskin kreativitas berfikirnya, akibatnya benar-benar miskin secara ekonomi. Inilah salah satu pesan dari hijrah dalam islam, yaitu setiap orang berupaya memperbaharui diri dan hidupnya dengan “berpindah” dari sifat malas kepada rajin, dari watak buruk kepada kebaikan. Kesempatan yang selalu diberikan Allah kepada kita hendaknya mampu mengubah diri kita menjadi yang lebih baik. Berbenah dari dari segala ketimpangan dan ketertinggalan. Bahkan Tuhan sebagai sang pencipta tidak akan memaksa manusia atas pilihan hidupnya. Hanya saja akibat dari pilihan itu manusia harus menanggungnya sendiri, firman Allah dalam surah Al-Insyirah ayat 5 dan 6 mengingatkan kita agar tidak berputus asa dari limpahan rahmat-Nya.
Perubahan disini tentu bukan hanya sisi keduniaan saja sementara spiritual diabaikan. Sisi spiritual bisa kita ibaratkan sebagai guru yang akan mengajarkan kita tentang norma-norma kehidupan, yang akan memberikan kita batasan apa yang boleh dan tidak boleh kita kerjakan. Jika sisi spiritual ini benar-benar diabaikan maka akan terjadi ketimpangan. Ketimpangan ini akan membawa kehancuran moral disetiap sendi dan strata kehidupan masyarakat. Korupsi, perzinaahan, ketidakadilan, kriminalitas nantinya akan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan kita.

Note: Tulisan ini pernah dimuat di Harian Serambi Indonesia 19 Desember  2009 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Belajar Fitrah Seksualitas Melalui Shalat

Kodrat Perempuan dalam Pergulatan