Kodrat Perempuan dalam Pergulatan
Oleh : Zahriani Ahmad Amin
Zaman telah berubah, tidak dapat dipungkiri kalau
sekarang adalah zaman modern. Bagi perempuan mereka telah memasuki zaman emansipasi. Zaman dimana perempuan akan
lebih dihargai jika mandiri secara ekonomi. Mampu memasuki dunia kerja dibidang apapun dan
bersaing dengan laki-laki. Namun di zaman ini juga perempuan mengalami dilema dalam hidupnya. Kalau
di era sebelum tahun delapan puluhan pilihan hidup perempuan sebagai ibu rumah
tangga adalah suatu keharusan, tempat perempuan adalah sumur, kasur dan dapur.
Jika ada perempuan yang meniti karir mereka di luar rumah mereka dianggap
sebagai sebuah “anomali sosial.” Seiring perjalanan waktu keadaan kini sudah
terbalik, jika masih ada perempuan yang memilih untuk menjadi “pure mother”
apalagi setelah melewati jenjang pendidikan yang tinggi yang melelahkan, merekalah
sekarang yang dianggap sebagai “anomali sosial”.
Se lelah apapun seorang perempuan di ranah rumah
tangga, jika secara ekonomi masih menumpang pada suami maka lingkungan akan melihat dengan sebelah mata untuk keberadaannya. Fenomena pahit
ini mulai banyak dirasakan oleh perempuan yang memiliki profesi sebagai “pure mother” ini. Secara implisit mereka akan sering mendengarkan suara-suara sumbang tentang perannya yang hanya sebagai seorang ibu rumah tangga, dianggap sebagai pengangguran terselubung dan merupakan parasit rumah
tangga alias tidak produktif.
Sayangnya mereka juga dihakimi tidak memiliki kecerdasan, tak ubahnya mereka dianggap setara seperti
asisten rumah tangga. Padahal asisten rumah tangga gajinya setara dengan guru
honor, bahkan bisa lebih banyak bagi mereka yang memiliki profesionalisme dalam
bekerja. Terkadang penolakan semacam ini bukan hanya mereka dapatkan dari
lingkungan luar rumah, di dalam keluarga sendiri pun mereka kurang dihargai.
Jika kita mau cermat melihat di negara lain, negara maju seperti Jepang
kehidupan perempuan sebagai
ibu sangat dihormati, bahkan pemerintah Jepang sedang menggalakkan kembali slogan Ryosai Kenbo. Istilah yang muncul
pertama kali di zaman Meiji yang
dapat diartikan secara bebas bahwa perempuan adalah seorang istri yang baik dan
seorang ibu yang bijaksana. Pemerintahan
Jepang tidak menuntut perempuan untuk kembali ke rumah seperti dahulu. Melainkan pemerintah, perusahaan atau instansi apapun di sana akan sangat menghargai perempuan yang akan kembali ke rumah sementara
waktu untuk menjalani kodrat mereka sebagai seorang ibu manusia. Ketika para
ibu ini ingin kembali ke ruang publik, mereka akan diterima kembali
dengan tangan terbuka. Bahkan di Jepang ada perusahaan-perusahaan tertentu yang
memberikan pekerjaan-pekerjaan ringan, yang dapat dilakukan
oleh seorang ibu sambil menjaga anak-anaknya di rumah. Mereka diberi upah,
sehingga walaupun berada di rumah mereka tetap berpenghasilan.
Lain lagi di Jerman, bagi perempuan yang mau memiliki anak mereka
mendapatkan kesempatan cuti selama dua tahun. Bahkan pemerintah akan menanggung
kehidupan mereka selama tidak bekerja dan mengasuh anak. Kelak ketika si ibu
siap kembali ke lingkungan kerjanya, tidak ada alasan untuk menolak mereka
kembali. Di negeri Belanda persyaratan umur dalam menerima
beasiswa, pemerintah memberikan batasan usia yang lebih
tinggi lima tahun untuk perempuan dibandingkan dengan laki-laki. Tentunya hal ini sangat
menguntungkan bagi perempuan negeri kincir angin ini, karena mereka akan memiliki kesempatan yang sama dengan
laki-laki untuk memasuki jenjang pendidikan. Mereka tidak perlu
khawatir tidak akan mendapatkan beasiswa
untuk melanjutkan pendidikan,
jika mereka memilih untuk totalitas menjadi ibu sementara waktu. Kalau dihitung-hitung lima tahun itu akan
memberikan kesempatan perempuan untuk melahirkan dua orang anak dengan jarak
usia dua tahun, dan perempuan akan kembali ke ruang publik ketika usia anak
kedua telah berumur dua tahun. Bukankah hal ini sangat sesuai dengan program
pemerintah Indonesia tentang keluarga berencana dan memberi ASI eksklusif pada
anak? Secara aturan sungguh
beruntung perempuan-perempuan di negeri asing tersebut, mereka mendapatkan hak istimewa mereka sebagai gender yang
berbeda dengan laki-laki.
Mereka mempunyai kesempatan untuk menjalani kodratnya dan juga kesempatan
mengembangkan diri.
Pada prinsipnya banyak fakta yang berbeda dengan apa yang terjadi di Indonesia yang konon memiliki Menteri Pemberdayaan
Perempuan. Namun pemberdayaan
perempuan di Indonesia sepertinya lebih diartikan sebagai kesiapan perempuan
sebagai tenaga kerja tanpa mempedulikan hak-hak kodratnya sebagai perempuan
lebih tepatnya “pemerkasaan perempuan agar setara laki-laki.” Di Indonesia cuti
dua tahun sama dengan mengundurkan diri dari pekerjaan, dan kesempatan untuk
kembali bekerja di tempat yang sama adalah nihil. Andai negeri ini mengerti kodrat perempuan
tentunya tidak banyak perempuan yang
harus kelimpungan ketika melahirkan dalam bekerja. Di
satu sisi mereka harus memenuhi kewajiban kodratnya yang tidak bisa digantikan
oleh laki-laki. Di sisi yang lain mereka diberikan aturan kerja yang sama
seperti laki-laki, aturan yang tidak ramah terhadap kodrat perempuan. Karena
fenomena seperti ini akhir-akhir ini banyak perempuan yang mundur atau tidak
memasuki sama sekali dunia kerja dan memilih untuk menjadi “full mother.” Jadi bukan karena mereka bodoh dan tidak diterima
bekerja di instansi atau lembaga mana pun, tapi karena kesadaran mereka akan
fungsi utama seorang ibu yang sangat penting di masa keemasan perkembangan
anak. “Al umm al madrasatul ula” ibu
adalah sekolah “utama” bagi anak-anaknya menjadikan alasan sebagian perempuan
memilih menjadi ibu rumah tangga.
Namun tulisan ini tidak bermaksud mengatakan ibu
pekerja itu “buruk” untuk anak-anaknya, karena banyak “alasan mendasar” lainnya
bagi seorang perempuan yang harus menjalani peran kodratnya dan peran
publiknya secara bersamaan. Perempuan sebagai tenaga medis terutama dokter
kandungan, bidan serta guru adalah diantara profesi yang sangat membutuhkan
kehadiran perempuan. Apalagi sebagai “single
mother” perempuan harus bisa melakukan apa saja untuk menegakkan
keluarganya. Belum lagi pada kasus perempuan bersuami namun harus menjadi
pencari nafkah utama dalam keluarga bukan lagi suaminya sebagai kepala rumah tangga. Hal ini
bisa disebabkan karena kondisi fisik suami yang tidak memungkinkan lagi atau
sebagian karena sikap suami yang memang tidak bertanggung jawab terhadap
keluarganya. Hal ini sungguh sangat melelahkan bagi perempuan yang
menjalaninya. Namun sisi baiknya mereka punya waktu khusus untuk pengembangan
dirinya secara profesional.
Dari sebagian informasi tersebut dapat dikatakan bahwa banyak kebijakan yang harus
dibenahi untuk dunia perempuan, diantaranya cuti melahirkan bagi perempuan
pekerja. Tidak ada salahnya jika pemerintah memberikan cuti melahirkan selama
dua tahun bagi pegawai perempuannya dengan tetap memberikan gaji pokok, karena
yang dilakukan oleh mereka adalah mendidik generasi bangsa yang akan meneruskan
perjuangan bangsa ini nantinya. Bukankah bangsa akan mendapatkan bonus generasi
yang unggul karena dididik oleh ibunya sendiri? Rasanya bangsa ini tidak akan
dirugikan ketika tetap menggaji pegawainya yang mengambil cuti melahirkan.
Selanjutnya adalah kesempatan dalam mendapatkan beasiswa pendidikan, hendaknya
bagi perempuan diberikan kesempatan lima tahun lebih lama dibandingkan
laki-laki. Dimana bonus lima tahun adalah suatu penghargaan bagi perempuan
untuk menjalankan fungsi kodratnya, melahirkan dan menyusui anaknya secara
penuh selama dua tahun untuk dua orang anak. Sebelumnya telah kita sebutkan
bahwa hal ini sinergi dengan program pemerintah sendiri tentang keluarga
berencana. Jika hal ini dilaksanakan maka perempuan akan memiliki kesempatan
yang sama dengan laki-laki dalam mendapatkan beasiswa pendidikan.
Kembali kepada para perempuan yang memilih untuk
menjadi ibu rumah tangga sejati. Mereka bukan perempuan yang bodoh dan malas, hanya
saja mereka memang tidak cocok dengan dunia kantor atau tidak mendapatkan
kesempatan. Sebenarnya hal ini tidak ubahnya seperti dunia laki-laki juga,
tidak semua dari laki-laki adalah pekerja kantoran mereka ada yang berdagang
dan ada yang menekuni dunia kreatifitas. Begitu juga dengan perempuan tidak
semua mereka menyukai dunia perkantoran. Sebagian mereka memilih dengan sadar
untuk menjadi “pure mother” karena mereka ingin menjadi pendidik utama bagi
generasi bangsa. Apalagi di zaman yang sangat menghargai kreatifitas, ibu-ibu
ini dapat melakukan dua tugas sekaligus sebagai pendidik dan juga dapat
penopang ekonomi keluarga dengan kreatifitas yang mereka miliki. Mereka dapat
mengatur waktu mereka sendiri dengan leluasa, ini adalah kelebihan bagi mereka.
Kesimpulannya tidak perlu merasa lebih tinggi dengan kesempatan yang dimiliki
belum tentu orang yang terlihat biasa saja memiliki kemampuan dan kecerdasan
yang lebih rendah, apalagi hanya karena sergam yang kita miliki.
Komentar
Posting Komentar