Ibu Masa Kini, Idealnya Bagaimana?
Oleh: Zahriani Ahmad Amin
Bagaimana menjadi seorang ibu masa kini? Seorang
ibu moderat tetapi realistis dalam menyikapi segala kelebihan dan
kekurangannya. Bukan seorang ibu utopis atau ibu ideal yang tidak pernah hadir
di zaman manapun. Sulit melukiskan bagaimana sejatinya seorang sosok ibu yang
diharapkan tampil dan menjadi kiblat masa kini. Karena bagimanapun juga,
menurut pengalaman banyak ibu, nampaknya sungguh tidak mudah menjadi ibu sesuai
harapan semua pihak. Diakui bahwa terlalu banyak tuntutan yang dibebankan di
pundak seorang ibu. Menjalani kodrat
sebagai seorang perempuan sudah cukup membuat para ibu keteteran ditambah lagi
menjalin kiprahnya di ranah sosial. Ibu yang notabene seorang yang berjenis
kelamin biologis perempuan dituntut semaksimal mungkin mampu memberikan yang
terbaik kepada anak dan keluarganya. Sementara ibu dalam kapasitasnya di luar
rumah tangga, keberadaannya juga sangat diharapkan bisa berperan maksimal.
Ketika dua tuntutan (kodrati dan sosial) itu dipenuhi sang ibu, guna berkarya
dalam megaktualisasikan dirinya diranah sosial, maka beban tanggungjawab
seorang ibu menjadi semakin berat saja.
Sehingga tidak mengherankan pada
sebagian perempuan terpaksa harus memilih satu diantara dua pilihan sulit di
atas. Sebab, bila ia tidak memilih akan dikhawatirkan timbulnya kegagalan dalam
salah satu tugas dan tuntutan tersebut. Hanya ibu yang memang memiliki kecerdasan
emosional yang tinggilah yang mampu memenuhi kedua peran ideal tersebut.
Sementara kebanyakan sang ibu yang tidak memiliki kemampuan untuk itu sering menyebabkan
terjadi ketimpangan dalam memberikan kontribusi dalam keberadaannya.
Perempuan dan ketimpangan gender
Sialnya, keberadaannya dalam rumah tangga sering
menjadi korban dari kedua tutuntan tersebut. Mungkin bukan karena tiada sebab,
asumsi umum menyatakan bahwa perempuan lebih bisa mengorbankan rumah tangganya.
Karena kedudukannya yang lebih diakui dalam keluaganya, paling yang menjadi
rival argumennya hanya suami. Nah, suami yang notabene laki-laki merupakan
sosok yang berwajah ganda di hadapan istri yang notabene berjenis kelamin
perempuan. Di satu sisi suami bisa menjadi mitra yang berperan
konstruktif-komplementer dalam membangun relasi kesejaran antara laki-laki dan
perempuan dalam keluarga, bisa juga sebaliknya. Konon lagi di lingkup yang
lebih luas, di ranah publik atau di dunia kerja misalnya. Nah, di sana, relasi
kedua jenis insan ini tidak jarang (lebih sering) terjadi kompetisi yang tidak
sehat alias tidak ramah perempuan. Ibu sebagai sosok perempuan dianggap rival
abadi oleh kaum laki-laki yang mendominasi kepemimpinan di ranah publik.
Sehingga terbangunlah sebuah relasi timpang, dimana laki-laki dan perempuan sebagai
relasi atasan-bawahan.
Di sini perempuan banyak menghadapi banyak
tekanan, atau mengalami diskriminasi disebabkan jenis kelamin sosial yang
dilekatkan padanya. Tetapi anehnya, di bawah tekanan tersebut ia harus mampu
menunjukkan bahwa pekerjaan yang dilakukannya harus prima. Jika tidak dipenuhi
bisa berakibat pada menurunnya kepercayaan pimpinan kepadanya, karena ia
dianggap posisinya tidak lebih sebagai person yang berada di bawah kedudukan
kaum laki-laki. Di sini terjadi bias yang cukup timpang dalam penilaian
pekerjaan yang dilakukan oleh seorang perempuan. Sebab, bagaimanapun
sempurnanya pekerjaan yang dihasilkan, toh peniliannya tetap miring. Karena
pekerjaan itu dilaksanakan oleh makhluk yang terlanjur dipandang sebelah mata
atau kelas dua (subordinat laki-laki). Ternyata, rival abadi kaum perempuan
tidak sebatas kaum laki-laki. Teman sejawatpun yang sejatinya sesama jenis
kelamin biologis (perempuan) ternyata bisa berposisi sebagai ”orang lain”. Akhirnya,
persaingan tidak sehatpun bisa terjadi antar sesama kaum perempuan, yang
seharusnya saling menguatkan satu sama lain.
Karena tekanan-tekanan dan posisi seperti ini
perempuan sering dihinggapi stress yang kuat dan akhirnya rumah tangga
(anak-anak) menjadi korban dari karir ibu di luar rumah. Menghadapi persoalan
ini, justru stabilitas domistik dikorbankan hanya karenan menyelamatkan
kesinambungan masa depan pekerjaan. Dengan penuh keterpaksaan, hilangnya
pekerjaan lebih dikhawatirkan ketimbang guncangnya biduk keluarga. Karir yang
lama dirintis lebih berharga untuk diselamatkan ketimbang keluarga. Padahal
keduanya sama-sama harus dirintis dari awal, tetapi merintih karir sering
dianggap lebih sulit daripada merintis kembali kerusakan rumah tangga.
Kehilangan karier berarti akan mereduksi kedudukan sosialnya dan mungkin akan
menghilangkan rasa percaya diri siperempuan. Hal ini wajar saja dirasakan oleh
semua orang. Karena ini sudah sifat alamiahnya manusia yang takut kehilangan
sesuatu yang dicintainya. Tetapi sejatinya, keluarga adalah di atas segalanya.
Ia tidak bisa digantikan dengan yang lain. Prinsip ini kebanyakan masih
dipegang kokoh oleh perempuan yang telah berkeluarga. Hanya dengan kehadiran
pihak ketiga, prinsip ini baru bisa goyah. Sebab, pada umumnya masyarakat kita
masih sangat menghormati institusi rumah tangga.
Dewasa ini
keberhasilan seorang perempuan lebih dinilai dari sisi keberadaannya di ranah
sosial. Siperempuan akan menerima penghargaan dalam bentuk apapun jika ia mampu
memposisikan dirinya di domain ini. Orang-orang tidak akan perduli dengan
keadaan rumah tangganya, mereka tidak akan menilai moral anak-anaknya ataupun
moral suaminya asalkan mereka telah berbuat untuk masyarakat. Dalam pandangan
masyarakat kita sekarang, perempuan-perempuan karir seperti ini pantas dianggap
layaknya pahlawan. Tentu hal ini sangat jauh berbeda dengan pandangan masyarakat maju seperti masyarakat Amerika. Kita mungkin masih ingat kejadian beberapa tahun lalu ketika Sarah Palin mencalonkan dirinya sebagai
cawapres mendamping Dick Chiny dari Partai Republik dalam pemilu November 2008.
Banyak masyarakat dunia yang memprotes dan mengkritik Sarah hanya karena salah
seorang anak perempuannya hamil di luar nikah. Ternyata masyarakat Barat masih
memegang asumsi bahwa jika keluarganya yang berukuran kecil saja tidak sanggup
diurus, lalu bagaimana dia bisa menguasai negara yang begitu besar dengan masalah
yang begitu komplit.
Ibu itu harus wanita super
Terlepas dengan apa yang terjadi di Amerika, kita
hanya ingin melihat sejauh mana perempuan kita bisa menyeimbangkan
keberadaannya dalam dua tuntutan yang berbeda pada saat yang bersamaan.
Bukankah anak-anak yang sekarang memanggilnya ibu kelak akan menggantikan
kedudukan mereka dalam berbangsa dan bersosial. Jika para orang tua terutama
ibu tidak dapat mendidik moral mereka maka kita khawatir kelak orang-orang yang
akan menjalankan bangsa ini adalah orang-orang yang tidak bermoral. Berat
memang bagi seorang perempuan dapat berbuat adil dalam mengasuh anak dan
berkarier. Hanya dengan memiliki tingkat kecerdasan emosional yang tinggilah
perempuan dapat mengaktualisasikan dirinya di mana saja. Dalam konteks ini, ibu
masa kini sejatinya ibu yang memiliki kapasitas emosional dan intelektual yang
memadai untuk bisa menyiapkan masa depan putra-putri mereka menjadi generasi
yang handal. Sehubungan dengan kesejatian seorang ibu masa kini tersebut,
sepertinya kita harus menoleh pada sebuah baliho besar yang pernah dipampang di halaman depan Kantor Perpustakaan Wilayah NAD di Lamnyong saat itu. Di sana di samping foto Tantowi Yahya sebagai duta membaca tertulislah
sepenggal kalimat yang sangat menyentuh hati dan rasa ”Ibu adalah pustaka
pertamaku”. Penulis yakin, ungkapan tersebut dipetik dari hadits Nabi yang
menyabdakan bahwa ”ibu adalah sekolah (madrasah) pertama bagi anak-anaknya”.
Bagaiman seorang ibu dapat menjadi sekolah bagi
anak-anaknya kecuali ibu itu haruslah menjadi orang yang cerdas. Lalu bagaimana
seorang ibu bisa menjadi cerdas? membacalah jawabannya. Jika seorang ibu rajin
membaca maka sang ibu akan menjadi sekolah sekaligus pustaka bagi generasinya.
Namun ada suatu kejanggalan dalam animo masyarakat sekarang ini mereka
menyadari bahwa tugas sebagai seorang ibu rumah tangga sangat berat dan
menuntut pengetahuan yang tinggi dari sipelakunya. Karena si ibu harus mendidik generasi bangsa yang akan datang. Tapi mengapa pekerjaan
perempuan sebagai ibu rumah tangga selalu dipandang miring. Selalu saja orang
menyebutkan hanya di dapur, sumur dan kasur. Tidak bisakah kita menganggap itu
sebagai suatu profesionalisme?. Coba kita lihat berapa banyak perempuan atau
ibu sekarang yang mampu menguasai semua pekerjaan domestik pelengkap ini,
mungkin hanya segelintir. Jika kita menganggap itu adalah sebuah pekerjaan
pelengkap berarti orang-orang yang mencari rizkinya dengan membuka warung atau
rumah makan itu hanyalah sebagai pekerjaan pelengkap. Begitu juga dengan bidang
butik, fashion dan jasa pembersihan. Bukankah itu tugas hariannya seorang ibu
rumah tangga. Apakah hanya karena telah menghasilkan sejumlah uang maka
pekerjaan ini bisa dihargai bahkan tidak sedikit orang yang menjadi kaya dan
terhormat dari pekerjaan ini.
Menghargai pekerjaan IRT
Tapi mengapa ketika yang melakukannya seorang ibu
rumah tangga tanpa memungut bayaran lalu pekerjaan ini hanya pantas dianggap
sebagai pekerjaan pelengkap saja?. Mengapa tidak kita coba cermati dan mundur
kebelakang, lihatlah dengan mata hati ketika semua pekerjaan pelengkap ini
dilakukan oleh seorang ibu rumah tangga sejati. Berapa persen dari jasa mereka
telah menghemat pengeluaran rutin belanja rumah tangga. Mengapa kita tidak
menghargainya sebagai sebuah profesionalisme seorang perempuan. Bukankah ketika
seorang perempuan bekarier di luar rumah maka semua pekerjaan rumahannya harus diambil
alih oleh pembantu rumah tangga, pengasuhan anak, memasak, dan membersihkan
rumah. Segala urusan rumah tangga beralih ketangan pembantu, yang nyatanya
seorang perempuan juga dan keterampilan (profesionalisme) mereka ini
harus kita bayar bukan? Kita tidak akan mendapatkan jasa gratis dari mereka.
Bahkan di zaman modern ini kita harus membayar per-item dari keahlian mereka.
Kalaupun para ibu-ibu bekerja ini tidak menyewa jasa pembantu, tetapi sering
kali harus menemukan alternatif lain seperti mencari tempat penitipan anak
sebagai pengganti pengasuhannya sewaktu si ibu berada di luar rumah untuk bekerja.
Setahu saya para pendidik terampil yang ada di tempat penitipan anak ini juga perempuan, mereka bekerja mencari uang
tapi dengan pekerjaan rumahan yang telah diprofesionalkan. Bahkan tugas seorang guru/dosen yang
begitu mulia juga merupakan pekerjaan utama ibu rumah tangga? Dan begitu
mudahnya anak memahami value sebuah ilmu ketika yang mengajarkan adalah ibunya
sendiri. Begitu juga dengan chef-chef di restoran yang bergengsi,
bahkan masakan seorang ibu akan lebih terasa nikmatnya karena ada cinta dan
sayang di dalamnya. Lalu mengapa kita selalu menuntut masyarakat untuk
berasumsi bahwa pekerjaan rumah itu adalah pekerjaan kelas dua. Saya yakin
semuanya hanya karena prestise semata. Manusia sekarang hanya bisa dihargai
ketika dia dapat menghasilkan uang dan popularitas dalam masyarakat. Seorang Moeryati Sudibyo telah membuktikannya, dari tangan seorang perempuan
yang yang sukanya berhias, Moeryati dapat menciptakan lapangan kerja yang
begitu besar. Bukan hanya perempuan yang menjadi karyawannya tapi juga
laki-laki. Dan kini dengan keanggunannya pula dia melangkah ke Senayan
melakukan aktivitas politik. Semua lapangan kerja baru ini
dimulai dari perkerjaan perempuan yang selalu kita anggap sebagai pekerjaan
pelengkap. Bagi saya jangan pernah memandang sebelah mata apapun yang dilakukan
seorang perempuan. Tapi lebih baik melihat bagaimana memberdayakan perempuan
dengan keterampilan yang dimilikinya, memiliki keterampilan rumahan bukan
berarti perempuan tidak bisa berfikir cerdas.
Dari dan Kembali Kepada Perempuan
Lalu apakah dengan alasan tersebut tadi kita akan
mengirimkan perempuan kembali ke dalam rumah mereka dengan pemaksaan? Biarkan perempuan beraktifitas di luar
rumah bagi mereka yang memilihnya. Berikan perempuan hak dan kebebasan
untuk memilih, asalkan pilihannya itu bukan karena keterpaksaan. Tidak seharusnya perempuan dipaksa untuk harus mengusai pekerjaan rumah tangga jika kita
menganggap pekerjaan ini sebagai profesionalisme bukan sebagai kodrat si perempuan. Tidak perlulah seorang perempuan menghina perempuan
yang lain hanya karena dia tidak bisa memasak. Di zaman yang modern ini
keterampilan perempuan bukan hanya dilihat dari bisa atau tidaknya dia memasak,
menjahit dan pekerjaan rumahan lainnya. Tetapi perempuan juga bisa
menguasai keahlian seperti laki-laki, dia dapat menguasai keahlian semisal
komputer, arsitek, ekonomi, politik atau lainnya. Jadi tidak
perlulah merasa lebih dibandingkan dengan orang lain hargai apapun yang dapat
dikuasai oleh orang lain sebagai profesionalisme. Sejarah telah banyak
membuktikan bahwa tingkat kecerdasan perempuan itu mampu menyaingi laki-laki.
Dari zaman fir’aun, sang istri fir’aun Asiah, yang
memiliki kecerdasan spiritual yang tinggi menolak ajakan suaminya untuk
menyembah dirinya sebagai tuhan. Karena bagi Asiah tidak mungkin manusia itu
adalah Tuhan karena manusia itu lemah. Padahal saat itu begitu banyaknya
laki-laki yang mau menyembah fir’aun sebagai Tuhan, dan Asiah lebih memilih
mati di tangan suaminya dari pada mengingkari kecerdasan spiritualnya ini. Dan
dari tangan Asiah pula Nabi Musa mendapatkan kasih sayang seorang ibu yang
memberikan pendidikan yang layak sampai usia remajanya. Dan masih banyak
tokoh-tokoh perempuan lain yang telah memilih untuk mengaktualisasikan dirinya
tanpa meninggalkan peranannya sebagai seorang ibu dalam artian dia benar-banar
menjadi ibu bagi anak-anaknya. Mereka selalu akan ada ketika sianak memerlukan
mereka sampai anak-anak itu dapat hidup mandiri. Kemandirian serta kematangan
seorang anak sangat ditentukan oleh kualitas hubungan antara si anak dan orang tua mereka terutama ibu. Karena ibulah manusia pertama yang paling dekat dengan anaknya. Sejak sembilan bulan
dalam kandungan sampai saat-saat indah menyusui si buah hati. Kedekatan ini menjadi modal utama bagi sang ibu untuk
mengarahkan hidup anak-anaknya.
Jadi ibu ideal masa kini adalah ibu yang mampu
hadir secara psikologi bagi keluarganya, bukan hanya sibuk dengan pekerjaannya
baik pekerjaan di dalam rumah atau di luar rumah. Peran sebagai ibu rumah
tangga sejati tidak menjamin perempuan akan mampu menghadirkan dirinya sebagai
sosok yang spiritual dalam rumah tangga. Banyak kejadian dimana para full mom
ini malah kehabisan waktu dengan arisan atau tontonan sehingga melupakan
tanggung jawab utama mereka. Begitu juga para ibu yang berkarier di luar rumah,
terkadang ada sebagian tidak mampu membuat neraca seimbang antara kebutuhan
karier dengan kebutuhan keluarga terhadap dirinya. Sehingga keluarga kehilangan
sosok ibu secara psikologis. Hal seperti ini bisa berakibat lebih fatal
dibandingkan dengan keluarga yang kehilangan fisik seorang ibu karena kematian.
Namun peran penting seorang ibu dalam keluarga
tidak akan dapat berfungsi maksimal tanpa bantuan sang ayah. Ayah sebagai
partner ibu dalam keluarga sangat dibutuhkan dukungan untuk menguatkan peran
ibu. Perilaku positif ayah akan memberikan dampak positif terhadap peran ibu
dalam keluarga begitu juga sebaliknya. Ayah dan ibu memiliki amanah yang sama
besar dalam sebuah keluarga tidak ada yang lebih mendominasi, hanya saja
masing-masing memilki perannya sendiri sesuai dengan kesepakatan bersama kedua
belah pihak. Kita tidak sedang membentuk keluarga yang utopis tapi sebuah
keluarga yang realis dengan segala kelebihan dan kekurangan sesuai tantangan
zaman dan misi keluarga yang diemban.
Tulisan ini pernah dimuat di Kolom: Fokus Harian Aceh
Penulis adalah alumnus FMIPA Unsyiah, ibu rumah
tangga berdomisili di Banda Aceh.
Komentar
Posting Komentar