Membentuk Generasi Sukses
Oleh : Zahriani Ahmad Amin
Mengapa sebagian besar generasi muda kita gagal
meraih impian masa depan mereka?. Jika mau ditelusuri tentu banyak faktor
penyebabnya, mulai yang paling besar pengaruhnya hingga yang terkecil. Sebut
saja yang besar-besar, pertama adalah perlakuan orang tua di dalam keluarga.
Kedua, ketepatan pendidikan yang diperoleh di bangku sekolah. Dan ketiga,
dukungan situasi-kondisi lingkungan pergaulan.
Umumnya, generasi sukses terbentuk setelah mendapatkan dukungan yang positif bagi pengembangan potensi yang relevan dengan kecendrungan dominanan masing-masing. Biasanya, bentuk dekungan yang paling substansial yang sangat dibutuhkan anak supaya tumbuh sebagai generasi sukses adalah adanya kepercayaan dan penghargaan. Ungkapan dari orang-orang terdekat seperti; ”kami percaya, kamu lebih tahu apa yang terbaik untuk masa depanmu”, biasanya lebih membangu jiwa daripada melempar ungkapan menafikan. Setelah itu, kepercayaan tidak berdiri sendiri. Karena setelah itu dibutuhkan penghargaan uantuk melengkapi. Bagaimanapun realitas yang terjadi sedudahnya nanti, setelah kepercayaan tulus diberikan, maka apresaisi yang positif mutlak diiringi. Dua sikap ajaib inilah diyakini mampu mendongkrak kesuksesan generasi baru. Paling tidak inilah yang sempat saya cerap dari kisah fantastis di bawah ini. Ilustrasi ini disadur dari Seputar Indonesia online, edisi 31 Januari 2010.
Umumnya, generasi sukses terbentuk setelah mendapatkan dukungan yang positif bagi pengembangan potensi yang relevan dengan kecendrungan dominanan masing-masing. Biasanya, bentuk dekungan yang paling substansial yang sangat dibutuhkan anak supaya tumbuh sebagai generasi sukses adalah adanya kepercayaan dan penghargaan. Ungkapan dari orang-orang terdekat seperti; ”kami percaya, kamu lebih tahu apa yang terbaik untuk masa depanmu”, biasanya lebih membangu jiwa daripada melempar ungkapan menafikan. Setelah itu, kepercayaan tidak berdiri sendiri. Karena setelah itu dibutuhkan penghargaan uantuk melengkapi. Bagaimanapun realitas yang terjadi sedudahnya nanti, setelah kepercayaan tulus diberikan, maka apresaisi yang positif mutlak diiringi. Dua sikap ajaib inilah diyakini mampu mendongkrak kesuksesan generasi baru. Paling tidak inilah yang sempat saya cerap dari kisah fantastis di bawah ini. Ilustrasi ini disadur dari Seputar Indonesia online, edisi 31 Januari 2010.
Tujuh tahun lalu, Louis Barnett terpaksa
meninggalkan bangku sekolah karena menderita disleksia dan dispraksia. Namun, siapa
sangka tanpa bekal pendidikan formal dan otak yang normal, remaja yang kini
berusia 18 tahun itu sukses berbisnis cokelat di Inggris. Kesuksesan Barnett
tidak diraih dengan gampang. Sebagai manusia yang tidak bisa hidup “normal”,
remaja asal Kinver,Staffordshire Inggris ini harus berjuang keras untuk meraih
kesuksesan yang saat ini dinikmatinya. Saat bersekolah, Barnett sebenarnya
terbilang sangat luar biasa dalam soal urusan kosakata dan pengetahuan umum. Namun,
dia memiliki masalah besar dengan konsentrasi sehingga tidak bisa belajar
matematika, menulis, dan sering sekali tak mengacuhkan temannya. Karena kurang pemahaman dari teman-temannya
itulah Barnett sering terlibat dalam perkelahian dan menjadi korban kekerasan
serta pelecehan teman-temannya. Orang tua Barnett, Phil dan Mary, kemudian
memutuskan untuk mengambil alih pendidikan Barnett secara pribadi. Karena mereka terus mendapat keluhan dari
sekolah dan orang tua murid. Kemudian mereka memilih untuk menyekolahkan
Barnett lewat home school dengan memanggil guru privat bernama Jan.
Phil dan Mary juga memeriksakan “kelainan
konsentrasi” Barnett kepada psikolog. Lewat konsultasi dan pemeriksaan, Barnett
diketahui menderita disleksia dan dispraksia. Dispraksia merupakan penyakit
gangguan otak yang mengakibatkan penderitanya tidak bisa menentukan koordinat
arah dan gerakan tubuh dengan baik. Penderita gangguan ini kesulitan melakukan
aktivitas sederhana yang dilakukan manusia normal seperti berpakaian, mengikat
tali sepatu, bahkan memegang pensil. Sementara
disleksia merupakan gangguan dalam pembelajaran seperti membaca, menulis, dan
mengeja. Dari kecil, Louis tidak pernah berhenti menanyakan sesuatu. Umur enam
bulan dia sudah belajar berbicara dan satu usia tahun dia sudah menanyakan
mengapa ada lampu merah. Secara kecerdasan, dia memang tumbuh lebih cepat dari
anak sebayanya. Tetapi dia justru sangat lamban dalam pembelajaran aktivitas
sehari-hari,” tutur Mary yang mengaku butuh waktu tiga bulan hanya untuk
mengajari Barnett memegang pensil.
Setelah keluar dari sekolah, Barnett sempat
menjadi relawan di sebuah pusat penangkaran burung elang selama 18 bulan. Suatu
hari, remaja kelahiran 2 November 1991 ini membeli buku berjudul Belgian
Chocolate Cakes and Chocolate di dekat pusat penangkaran itu. Sang guru privat,
Jan, yang melihat buku itu menyadari minat besar Barnett pada cokelat. Dia pun kemudian meminta Barnett membuat
cokelat untuknya. Berawal dari cerita Jan dan cerita mulut ke mulut orang-orang
dekatnya, kelezatan cokelat buatan Barnett semakin terkenal dan dia pun semakin
sering dimintai pesanan untuk membuat cokelat. Saat pesanan membludak menjelang
Natal 2005, dia pun memutuskan untuk membuka pabrik cokelat sederhana di garasi
sang ayah.
Dengan bermodal 5.500 poundsterling (Rp93.500.000)
yang diperoleh dari pinjaman bank dan kakeknya, Barnett memulai usahanya pada
usia 14 tahun. Sebelum membuka usahanya, Barnett bercerita bahwa dia harus
mencicipi 100 jenis cokelat untuk memilih bahan terbaik. Karena menderita
disleksia, Barnett tidak bisa melafalkan chocolate dengan benar dan mengejanya
dengan chokolit. Ejaan inilah yang kemudian menjadi nama pabrik cokelat
buatannya. Hanya butuh waktu satu tahun bagi Barnett untuk memasarkan produknya
hingga bisa menembus jaringan dua supermarket besar Inggris Sainsbury dan
Waitrose. “Saya adalah penggemar makanan apa pun dan selalu ingin tahu dari
mana dan bagaimana makanan itu terbuat? Orang tua saya selalu mengatakan bahwa
saya bisa menjadi apa pun yang saya inginkan dan itu sangat mendorong saya
untuk mendalami bisnis ini,”tuturnya.
Saat mencoba memasarkan produknya lebih luas,
Barnett menemui kesulitan dalam mencari kotak cokelat yang menarik dan unik. Dia
pun memutuskan untuk membuat kotak sendiri yang menjadikan produk cokelatnya
semakin laris dan banyak dicari. Kini,dia sudah memproduksi 40.000 bungkus
cokelat tiap tahun dan sanggup memasarkan cokelatnya hingga ke Swedia dan
Prancis. Kotak-kotak pembungkus buatan Barnett juga laku keras. Kisah sukses
Barnett kemudian menjadi pembicaraan. Perdana Menteri Inggris Gordon Brown dan
tokoh oposisi David Cameron bahkan tak ragu-ragu mengungkapkan kekagumannya
kepada Barnett. Mereka menilai Barnett sebagai anutan yang pas bagi generasi
muda Inggris. Barnett juga sudah membuktikan bahwa manusia “tak normal” seperti
dirinya pun bisa sukses. Meski muda dan sudah sukses, Barnett tidak lupa kepada
sesama. Ia juga memiliki kepedulian besar terhadap lingkungan. Selain
menyisihkan pendapatannya untuk menggalang dana demi penyelamatan orang utan
Sumatera, dia juga menolak penggunaan minyak sawit dalam produk cokelatnya. “Perkebunan
kelapa sawit menjadi salah satu penyumbang besar kerusakan hutan. Saya tidak
menginginkan hal itu,”ungkap peraih Lord Carter Award dalam industri makanan
itu.
Akhirnya, nilai-nilai hidup apa yang dapat dipetik
dari pengalaman sangat unik dan berharga ini? Tidak lain adalah kemauan untuk berjuang
keras, sikap yang selalu terbuka, pantang menyerah, tetap belajar meski tidak
bersekolah formal dengan banyak membaca, semangat hidup yang tinggi, menjalin
pergaulan, sangat percaya diri, berani melawan arus dan mencoba sesuatu yang
baru, tidak takut tantangan, ingin tahu yang besar, dan inovatif. Dus, memiliki
orang tua yang bijak, guru yang memahami dan membimbing serta mampu membaca
bakat lalu mengarahkan pada jalan yang tepat.
Penulis adalah Alumnus FMIPA Unsyiah, Ibu Rumah
Tangga
Komentar
Posting Komentar