Perempuan dan Syari’at islam

Oleh: Zahriani Ahmad Amin

WACANA seputar perempuan dan syari`at Islam masih saja menyisakan permasalahan yang menarik diperbincangkan. Konon lagi selama ini seperti belum ditemukan formula yang tepat dalam penegakan syari`at Islam kepada khalayak umum, terutama kepada kaum perempuan. Padahal kalau mau jujur, tataran normatifitas (ajaran normatif Islam) dan sepanjang yang dipraktekkan Nabi Muhammad SAW, tidak ada pertentangan atau konflik antara perempuan dan syari`at Islam.
Sebagaimana kepada kaum laki-laki, Islam telah mengatur kehidupan kaum perempuan dengan sebaik-baiknya. Ajaran Islam yang dikenal ramah perempuan ini sebagian besarnya telah dilaksanakan Nabi Muhammad SAW kepada para istri, anak perempuan dan keluarganya. Dengan kata lain, ajaran Islam berkenaan dengan perempuan telah diatur sedemikian rupa sehingga berada pada tatanan yang melindungi dan memberikan hak yang penuh kepada perempuan. Malahan Islam menempatkan perempuan pada lini terdepan dalam banyak aspek dan memposisikan mereka secara tepat dan benar. begitulah adanya.
Hanya saja, paska kehidupan nabi, perempuan muslim mulai merasakan perlakuan subordinatif dan diskriminatif dalam kehidupan mereka. Demikian juga keadaan yang nyaris sama dialami oleh kaum perempuan di Aceh dalam konteks penerapan syari`at Islam akhir-akhir ini. Kaum perempuan seakan-akan menjadi objek, sasaran bidikan utama (kelinci percobaa) penegakan hukum Islam ini. Dari model pendekatan, tahapan, sasaran dan teknik kerja aparatur penegak hukum syari`at Islam seperti polisi syari`at (wilayatul hisbah/WH dan Satpol PP), sungguh tidak aman dan bermartabat bagi kemanusiaan kaum perempuan. Sisi substantif yang diharapkan terwujud melalui pelaksanaan syari`at Islam, seperti terciptanya kehidupan umat Islam yang lebih bermartabat menjadi terhalang dan menjadi sangat terganggu.

Perempuan di sudut syari`at

Membincangkan penerapan syari`at Islam di Aceh setuju atau tidak, realitas di lapangan telah menyeret perempuan sebagai sorotan utama. Seolah-olah perempuan merupakan objek paling menentukan eksistensi syari`at Islam itu sendiri. Bahkan dampak lebih jauh, perempuan tidak jarang diposisikan sebagai perusak tatanan syari`at Islam.
Berbagai isu yang akrab dengan perempuan, apakah masalah emansipasi, keadilan gender, kepantasan dalam berpakaian dan perilaku perempuan di ranah publik, serta pemenuhan hak-hak dan kesempatan dalam mengaktualisasikan diri sebagai bagian dari masyarakat sering dibenturkan dengan pembatasan-pembatasan yang diatasnamakan syari`at Islam. Akibatnya, tampilan perempuan dalam perspektif syari`at Islam relatif buruk dan tidak menguntungkan. Hal ini tidak sepenuhnya salah, hanya tidak adil saja. Sebab, perempuan bukanlah variabel tunggal dalam masalah ini. Kaum laki-laki yang mendominasi berbagai lini kehidupan dalam masyarakat patriakal tidak bisa dinafikan, bahkan kalau mau jujur justru berada pada shaf terdepan. Artinya, laki-laki dan perempuan secara bersama-sama turut berandil menghadang atau menyahuti implimentasi syari`at Islam di Aceh secara benar dan tepat.

Memetakan perempuan

Lazimnya, dalam pemetaan, perempuan sering diposisikan ke dalam tiga kelompok. Pertama, perempuan sebagai individu atau bagian dari anggota masyarakat. Kedua sebagai istri dan ketiga sebagai ibu. Dalam kaitannya dengan prosesi syari`at Islam di Aceh, posisi perempuan sebagai individu dan istrilah yang paling banyak menimbulkan sorotan. Sedangkan sebagai ibu, kedudukan perempuan relatif lebih nyaman, tidak banyak masalah. Sebagai individu, perempuan sebagai bagian dari umat yang berkiprah di sektor publik. Di sektor ini, syari`at Islam yang digulir di Aceh saat ini paling banyak membelenggu hak-hak perempuan di muka umum. Perempuan serba salah dengan keindahan suara, tubuh dan pakaiannya. Ruang gerak dalam beraktivitas di luar rumah guna menjalankan haknya untuk aktualisasi diri terasa begitu sempit dan diawasi dua puluh empat jam. Ironisnya, semua hambatan tersebut mengatasnamakan penegakan syari`at Islam.
Dengan kata lain, ruang terbuka yang kondusif dan terlindungi bagi perempuan untuk bermujahadah dan beramal shalihah aksesnya ditutup rapat-rapat. Mobilitas perempuan di luar rumah dirumorkan secara berlebihan dengan kondisi keamanan yang tidak terjamin. Saya pikir ini hanyalah rekayasa sosial sepihak dari ketidakinginan akan terusiknya dominasi kaum laki-laki di ranah sosial. Ibarat diciptakan dengan sengaja, dimana tidak ada suatu upaya nyata memberi rasa aman bagi perempuan keluar rumah dengan menciptakan lingkungan bersama yang ramah dan nyaman bagi perempuan. Kalau memang kondisi keamanan dijadikan prasyarat kebolehan perempuan berkiprah di domain publik, mengapa keadaan tidak aman dibiarkan?
Perempuan sebagai istri memiliki masalah yang lebih banyak lagi kala disinggungkan (vis a vis) dengan syari`at Islam. Dalam kedudukannya sebagai istri di dalam keluarga, kewajibannya lebih banyak dibebankan kepada kaum perempuan dibandingkan dengan hak yang harus ia diterima.
Di mata syari`at, perempuan sepertinya lebih mudah meraih dosa (neraka) daripada meraih pahala (syurga). Dalam implimentasinya syari`at Islam hanya menjadikan perempuan sebagai objek dan pelengkap penderita (korban). Jadi seolah-olah syari`at Islam hanya membidik apa yang bisa menghalangi perempuan. Apa yang bisa disalahkan dari si perempuan, atau kesalahan apa yang bisa dicari dari si perempuan. Perempuan hanya menjadi bulan-bulanan dan pertaruhan syari`at Islam. Seolah-olah kehancuran syariat Islam lebih besar disebabkan oleh perempuan, padahal kita mengakui laki-laki adalah pemimpin. Tetapi saat terjadi kegagalan penerapan syariat, maka perempuanlah yang menjadi kambing hitam. Ketika terjadi kasus amoral yang melibatkan perempuan, maka dapat dipastikan bahwa perempuan sebagai tersalah dan subjek utama dari kesalahan itu. Sementara pasangannya, laki-laki, amat sedikit mendapat celaan masyarakat, dan bahkan bebas atau kebal syari`at.

Mengapa hanya perempuan

Harus diakui bahwa dalam berbagai kasus pelanggaran syari`at, kaum laki-laki lebih banyak diringankan perkaranya. Mereka lebih dikenakan hukum yang bersifat umum, tidak ada hukum khusus bagi laki-laki. Seperti larangan judi, khalwat, dan korupsi. Sedangkan perempuan kerap dijerat hukum khusus, seperti dalam kasus aborsi, atau pembunuhan janin hasil hubungan gelap. Kedua perbuatan tersebut memang sudah nyata salah tapi mengapa hanya pihak perempuan saja yang disalahkan. Padahal bila dilihat lebih dalam lagi kedua jenis insan ini telah memulai melakukan kesalahan yang akhirnya berakibat pada kejahatan kriminal yang dilakukan oleh seorang perempuan. Bukankah dengan membiarkan silaki-laki lolos dari jeratan hukum kriminal ini, ia akan merasa bebas dan akan mengulangi lagi dengan perempuan lainnya. Dosa zina adalah dosa bersama antara laki-laki dan perempuan, sehingga untuk penyelesaian masalah yang diakibatkan dari perbuatan tersebut keadilan hukum terhadap kedua jenis makhluk ini harus  dapat ditegakkan.
Formula fiqih klasik sering dijadikan rujukan untuk melegitimasi dan mencari justifikasi bagi upaya pengebirian perempuan. Ayat-ayat dan hadis Nabi ditafsirkan dan dipahami secara kaku tanpa sedikitkan mempertimbangkan konteks ruang dan waktu yang relevan dengan perubahan zaman. Padahal relativitas atau kelunturan ajaran Islam sangat dikenal dalam sejarah perjalanan generasi umat Islam masa lalu. Mereka secara cerdas mampu memahami dan menjalankan Islam sesuai dan tepat menurut tuntutan zaman dan kondisi riil daerah mereka. Mereka justru berhasil mempribumisasikan ajaran Islam dalam bingkai spirit nuansa lokal yang ada. Dari Islam mereka mengambil intisarinya saja, sedangkan kemasan luar diadaptasikan dengan kenyataan sekitar mereka. Sehingga tampilan wajah Islam dalam masyarakat Turki, Iran dan India misalnya sungguh sama sekali tidak bernuansa kearab-araban. Tidak demikian kenyataannya dengan sebagian masyarakat Muslim di Indonesia dan di Aceh yang mengira bahwa cara berislam sejati adalah asal sudah bergaya Arab (arabisasi), seperti bersurban, bercadar, bercelak, berwangi-wangian sampai menyengat dan berjenggot. Sedangkan esensi Islam seperti pola hidup bersih dan sehat, tekun dan ulet, kerja keras, disiplin dan menghargai waktu, jujur, adil, menghargai dan menghormati orang lain, ramah dan memuliakan, membangun rasa aman dan nyaman bagi sekitar, sebagian besar dialpakan dan keseharian.

Islam dan hak dasar perempuan

Sebenarnya cerminan perempuan dalam perspektif syari`at Islam adalah kebebasan dan keadilan. Perempuan memiliki hak-hak yang maksimal dalam melakukan aktivitas publik, bahkan mobilitas perempuan dalam sejarah Islam dikenal gesit dalam berbagai bidang. Tidak ada suatu doktrin syari`atpun yang membatasi pergerakan perempuan saat itu. Ajaran Islam dipahami dan dilaksanakan dengan samangat liberatif ajaran Islam yang sesungguhnya. Tetapi mengapa kemudian di era sekarang syari`at Islam lebih menampakkan kesan membatasi ruang gerak kaum perempuan?
Ada distorsi yang mendasar terhadap spirit Islam yang bernuansa pembebasan ini. Distorsi tersebut pertama diakibatkan oleh kekurangpahaman kaum perempuan sendiri terhadap syari`at Islam. Selama ini kaum perempuan mengenal dan memahami syari`at Islam secara parsial, dangkal dan hanya pada lapisan kulit luarnya saja. Syari`at Islam bagi perempuan tidak lebih hanya dipersepsikan sebatas kewajiban menutup aurat (pakaian) dan larangan berbuat zina (pergaulan). Dalam kedua aspek inipun dipahami secara tidak utuh. Kewajiban menutup aurat kaum perempuan hanya dipahami sebagai kewajiban menutup kepala alias mengenakan jilbab saja. Sementara masalah pakaian lain dalam lingkupnya yang utuh; yang menutupi anggota tubuh lainnya dialpakan begitu saja. Sehingga ada kesan, aturan berpakaian versi syari`at Islam telah memadai dengan mengenakan jilbab an sich.
Tidak heran bila baju dan celana ketat menjadi sah-sah saja membalut tubuh perempuan muslim masa kini. Banyak pelanggaran syari`at Islam yang tidak dimengerti oleh kaum perempuan. Keterbatasan wawasan dan pemahaman kaum perempuan menjadi lengkap manakala para ulama tradisional di Aceh sebagai pemegang otoritas hukum Islam dalam masyarakat menjadi pihak kedua yang banyak ”membajak” spirit superlatif syari`at Islam. Teungku-Tengku atau Abu-Abu di Aceh kerap ”membodoh-bodohi” kaum perempuan dalam mengamalkan ajaran Islam yang sesungguhnya. Ajaran Islam menyangkut hak-hak dan kewajiban perempuan ditafsirkan sesuka hatinya berdasarkan pemahaman formalitas Islam yang sempit dan hangar. Biasanya sangat terikat pada penafsiran ulama mazhab tertentu yang sering mengabaikan realitas kekinian dan kedisinian. Relevansi syari`at Islam dengan perkembangan dan kemajuan zaman modern di mana perempuan kini beraktivitas sedikit sekali mendapat pertimbangan mereka.
Harus diakui, akibat dari lemahnya penguasan pemahaman ajaran Islam sebagai akibat dari gagalnya pendidikan Islam dalam masyarakat bawah dan ditambah dengan penafsiran Islam yang begitu subjektif dari para ulama, kaum perempuan banyak yang terjebak dalam pelanggaran syari`at Islam. Namun pelanggaran dimaksud hanya dalam kategori tindakan yang tidak bersifat esensial, bukan tindakan yang fatal seperti korupsi, dan gangguan keamanan sebagaimana banyak dilakukan kaum laki-laki.
Kebanyakan perempuan Muslim di Aceh masih awam terhadap hak dan kewajibannya sebagai individu dalam masyarakat, sebagai anggota dalam keluarganya, sebagai ibu dari anak-anaknya, dan sebagai istri dari suaminya. Akibatnya, ketika pemerintah daerah memberlakukan syari`at Islam perempuan menjadi kalangkabut, serba salah dan akhirnya menjadi objek dan sasaran pelarian (pengalihan issu) pemerintah terhadap keterbatasan mereka selama ini yang gagal menjalankan roda pemerintah yang bersih dan berwibawa. Sejatinya, untuk membantu kaum perempuan sehingga kuat, benar dan lurus di hadapan penegakan syari`at Islam adalah dengan memberdayakan kaum perempuan melalui lapangan pendidikan dan terobosan ekonomi khusus perempuan. Sudah saatnya, pembangunan sekarang berpihak kepada kaum perempuan. Selama ini hanya kewajiban yang dituntut kepada kaum perempuan, sementara hak-haknya begitu terabaikan dan diabaikan oleh pemerintah.

Note : Tulisan ini pernah dimuat di Aceh Institute Riset

Penulis adalah Alumnus FMIPA Unsyiah, Ibu Rumah Tangga
 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Belajar Fitrah Seksualitas Melalui Shalat

Kodrat Perempuan dalam Pergulatan

Bangkit dari Keterpurukan