Peran Perempuan Dalam Islam


Beberapa waktu yang lalu saya sering mendapatkan postingan dari kawan-kawan di dunia maya yang berisi kalimat “Aku milik suamiku dan suamiku milik ibunya". Sebenarnya kalimat ini sudah lazim berkembang  dalam masyarakat kita baik secara maknawinya ataupun ungkapannya. Namun entah mengapa saya merasa sedikit tergelitik ketika membacanya, karena menurut saya kalimat ini memiliki konotasi yang negatif. Kalimat ini seakan-akan memberikan hak kepemilikan yang mutlak bagi seseorang terhadap kehidupan orang lainnya. Sehingga tidaklah heran ketika kita temui perilaku hubungan suami isteri yang kurang harmonis, begitu juga hubungan antara mertua dan menantu perempuannya. Secara psikologis kalimat negatif akan memberikan pengaruh yang negatif pula terhadap seseorang atau masyarakat. Bila kita telaah kalimat ini nampak jelas memposisikan kedudukan seorang perempuan terhadap laki-laki dua kali sebagai subordinat. Pertama perempuan adalah milik suaminya dan karena suami adalah milik ibunya maka otomatis dia berada di bawah kepemelikan mertuanya lagi.


Bila kita membicarakan tentang kepemilikan manusia dalam Islam, sifat kepemilikan ini hanya ada pada Allah semata. Kalimat di awal tersebut mengingatkan kita pada zaman perbudakan dahulu sebelum datangnya Islam, bahwa hidup seseorang hamba dikuasai oleh tuannya. Sedangkan hubungan suami isteri bukanlah hubungan antara tuan dengan budaknya. Lalu mengapa tidak kita enyahkan pikiran “isteri adalah milik suaminya”. Dalam Islam keberadaan suami bagi seorang isteri adalah wasilah atau jalan yang disediakan Allah bagi perempuan untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah. Allah telah membuat aturan-aturan yang jelas tentang hubungan suami isteri, bahkan sampai urusan perceraianpun Allah telah mengaturnya. Ketika seoarang perempuan telah memilih jalan untuk menjadi isteri bagi seorang laki-laki, maka segala aturan hak dan kewajibannya menjadi tanggung jawab dia kepada Allah. Jika perempuan menyadari arti kehadiran suami baginya dalam beragama, maka dengan sendirinya dia akan berperilaku sebagaimana mestinya akhlak seorang isteri terhadap suami sesuai dengan perintah Allah.

Bagaimana peran perempuan?

Lalu bagaimana kedudukan perempuan sebagai ibu yang dikaruniai anak laki-laki? Sungguh kedudukan seorang perempuan sebagai ibu adalah suatu hal yang sangat membahagiakan dan hal ini haruslah disyukuri. Kedudukan perempuan sebagai ibu seseorang tidak dapat digantikan oleh siapapun di dunia ini. Disadari atau tidak, seorang anak baik laki-laki ataupun perempuan adalah amanah, titipan dari Allah untuk para orang tua. Namun bukanlah untuk dimiliki malainkan untuk dipertanggung jawabkan kelak dihadapan Allah. Kehadiran anak laki-laki dalam kehidupan seorang ibu juga merupakan wasilah untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah. Ibu, pastinya memiliki kedekatan batin yang lebih kuat terhadap anak-anaknya. Sehingga tidak heran akhirnya melahirkan rasa memiliki yang kuat terhadap mereka dan menimbulkan rasa sakit ketika kehilangan mereka secara fisik atau psikologis. Jika rasa memiliki ini bisa kita enyahkan dari dalam hati Insya Allah sebagai seorang ibu kita akan bisa bersikap bijak terhadap anak dan istrinya kelak (menantu). Karena mereka berdua adalah amanah dari Allah untuk orang tua dengan cara yang berbeda.

Bagi orang yang memahami bagaimana aturan hubungan antara suami isteri dan ibunya suami, penggalan kalimat di atas bukanlah suatu persoalan. Namun bagi masyarakat awam yang tidak memahami hakikat hubungan antara ketiga manusia tersebut, dikhawatirkan akan memunculkan interpretasi yang bermacam-macam. Ikatan antara suami isteri dalam rumah tangga dalam al-Qur’an di sebut sebagai mitsaqan ghalidza, yaitu hubungan yang memiliki kedudukan tinggi di hadapan Allah, ikatan yang apabila diputuskan (cerai) maka akan sangat dibenci oleh Allah. Tapi karena penggalan kalimat di atas telah merasuki masyarakat kita seringkali terjadi kerancuan peran dalam rumah tangga antara ibu suami dan menantu perempuannya. Sehingga tidak heran sering terjadi percekcokan mertua menantu karena telah melewati zona wilayahnya masing-masing.

Bagaimana seharusnya bersikap?

Kedudukan perempuan sebagai seorang isteri dan ibu sebenarnya tidaklah patut untuk dibandingkan. Karena peran ini merupakan sebuah lingkaran yang tidak dapat diputuskan. Untuk menjadi seorang ibu, perempuan terlebih dahulu harus menjadi seorang isteri. Namun karena keterbatasan pengetahuan kita terlalu suka membandingkan kedudukan isteri dengan ibu atau sebaliknya. Tanpa kita bandingkanpun kedudukan mereka berdua adalah berbeda terhadap seorang laki-laki. Ibu, seorang perempuan yang telah mengandung selama sembilan bulan, melahirkan, menyusui, membesarkan dan mendidik anaknya. Kedudukan ibu tidak pernah bisa digantikan oleh seorang isteri (menantunya). Karena tidak mungkin seorang isteri melahirkan suaminya sendiri. Namun isteri juga seorang perempuan yang telah bersedia menghalalkan dirinya untuk hidup bersama seorang laki-laki yang telah menjadi suaminya. Dari rahim sang istri juga kelak lahir anak-anak penerus generasi. Rasa sakit yang dia rasakan ketika melahirkan sama seperti rasa sakit ibu mertuanya rasakan saat melahirkan suaminya. Kedudukannyapun tidak pernah bisa digantikan oleh ibu, karena juga mustahil bagi ibu untuk melayani kebutuhan biologis anak laki-lakinya sendiri dan melahirkan cucunya sendiri. Dalam Islam hal ini merupakan dosa yang teramat besar. Walaupun isteri bisa digantikan oleh perempuan yang lain namun tetap tidak pernah bisa digantikan oleh perempuan yang bernama ibu.

Jika sang suami menyadari posisi penting yang berbeda antara ibu dan isterinya, tentu dia akan bisa bersikap yang benar sesuai dengan syari’ah terhadap ibunya dan ibu anak-anaknya. Bakti yang terbesar yang harus diberikan oleh seorang anak laki-laki adalah kepada ibunya baru kemudian ayahnya, Rasulullah menyebutkan kewajiban berbakti seorang anak terhadap ibunya sampai tiga kali baru kemudian ayahnya. Begitu mulianya kedudukan seorang ibu di hadapan Allah. Firman Allah dalam al-Qur’an: “dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang diantara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan pada keduanya perkataan ah dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada m,ereka perkataan yang mulia” (Al-Isra :23).

 Kelak ketika seorang laki-laki memiliki anak-anak yang dilahirkan dari rahim isterinya, mereka juga akan memiliki kewajiban yang sama terhadap ibu mereka yang notabene adalah isterinya. Jika dalam hubungan rumah tangga kedudukan isteri tidak dihargai dirumahnya sendiri, apalagi dilakukan di hadapan anak-anaknya maka tidak heran jika mereka sudah besar mereka juga tidak akan menghargai ibunya sendiri sebagaimana perlakuan ayah mereka terhadap ibu mereka.

Memuliakan perempuan

Isteri dan ibu bagi suami adalah dua orang perempuan yang sangat berharga. Jika mereka menyadari bahwa mereka adalah orang yang penting bagi seorang laki-laki pada posisi yang berbeda. sayogianyalah mereka akan berisikap saling menghargai satu sama lainnya. Kasih sayang yang sama dari seorang ibu baik terhadap anaknya sendiri ataupun menantunya akan menjembatani hati mertua dan menantu, dan akan mengikat hati mereka sama kuat seperti ikatan hati ibu dan anak kandungnya sendiri. Sikap hormat seorang isteri terhadap mertua akan menambahkan rasa cinta dihati sang ibu mertua terhadap menantunya. Hubungan hati yang kuat dalam sebuah keluarga akan memudahkan dalam mendidik generasi, karena jiwa yang diliputi ketenangan lebih jernih dalam berpikir dan bertindak. Seorang ibu yang bijak akan melahirkan generasi islam yang kuat dan cerdas baik secara emosional atau intelegensial. Ibu yang bijak akan hadir dari seorang isteri yang memperoleh rasa mawaddah, rahmah dan sakinah dari suaminya.

Tidak ada perempuan yang begitu lahir langsung menjadi seorang ibu. Seorang ibu terlahir sebagai anak perempuan yang akan tumbuh dewasa kemudian menikah berganti peran sebagai seorang isteri. Dari rahim isteri lahirlah anak-anak penerus generasi baik laki-laki ataupun perempuan, disini perempuan akan menjalani peran ganda sebagai isteri dan juga ibu. Maka pantaskah jika mereka dibandingkan? Bagaimana bisa seseorang memandang rendah kedudukan isteri, sementara dia adalah ibu anak-anak. Ketika kita memandang agung sosok ibu kita dan memang seharusnya demikian beliau adalah juga seorang isteri dari ayah kita. Tegakah kita bila ibu kita dihargai dengan rendah oleh ayah kita (suaminya)? Jika tidak, maka janganlah kita menyempitkan posisi isteri, karena anak pun tidak ingin melihat ibunya tidak dihargai. Sepatutnyalah kita hargai perempuan sebagai apapun posisinya.

Sabda Rasulullah SAW “Sebaik-baik kalian adalah yang terbaik pada keluarganya. Dan, akulah yang terbaik diantara kalian terhadap keluargaku” (HR. At-Tirmidzi dari Aisyah dishahihkan oleh al Albani). Dalam Islam akhlak seorang hamba terhadap hamba lainnya yang hubungannya terikat dengan hukum, memiliki ketentuan yang jelas antara hak dan kewajibannya. Inilah keistimewaan Islam.

 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Belajar Fitrah Seksualitas Melalui Shalat

Kodrat Perempuan dalam Pergulatan

Bangkit dari Keterpurukan